Sejak berakhirnya era Orde Baru, Indonesia telah menjalankan
berbagai upaya reformasi hukum dan kelembagaan yang bertujuan untuk menciptakan
lembaga penegakan hukum yang mampu menghasilkan pemerintahan yang bersih.
Adanya penyelenggaraan kemandirian yudisial melalui yang disebut dengan
”peradilan satu atap”, pengenalan hak menguji undang-undang melalui Mahkamah
Konstitusi, dan terbentuknya berbagai peradilan khusus dan komisi pengawas
terhadap lembaga yudisial, kejaksaan, dan kepolisian, merupakan perubahan dalam
skala yang besar.
Kendati adanya skala reformasi dan investasi yang berarti dari donor, usaha yang berkesinambungan tetaplah diperlukan untuk menjamin bahwa perubahan kelembagaan tersebut dapat membawa keadilan lebih dekat kepada masyarakat. Tingginya apatisme masyarakat terhadap sistem hukum formal menyebabkan masyarakat lebih memilih sistem keadilan informal, yang mana seringkali bersifat diskriminatif serta tidak sejalan dengan jaminan konstitusional terhadap HAM. Lembaga penegakan hukum masih menghadapi tantangan untuk menyelesaikan atau mencegah masalah yang serius yang berpengaruh terhadap berjalannya pemerintahan lokal serta pengembangan perekonomian.
Pada kenyataannya, inisiatif untuk mereformasi lembaga penegakan hukum lebih banyak berfokus pada lembaga negara formal. Akan tetapi, keadilan bukanlah semata-mata berada dalam ranah negara. Pemimpin desa dan adat yang merupakan aktor penyelesaian sengketa alternatif utama di Indonesia, memainkan peranan aktif terhadap lebih dari 75% sengketa. Namun, institusi tersebut telah dipasung selama 30 tahun di bawah pemerintahan yang sangat sentralistik. Kebutuhan untuk memperoleh keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan, khususnya minoritas etnis dan agama serta perempuan, seringkali tidak diperhatikan dalam sistem penyelesaian sengketa di tingkat desa. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dan perhatian lebih.
Kendati adanya skala reformasi dan investasi yang berarti dari donor, usaha yang berkesinambungan tetaplah diperlukan untuk menjamin bahwa perubahan kelembagaan tersebut dapat membawa keadilan lebih dekat kepada masyarakat. Tingginya apatisme masyarakat terhadap sistem hukum formal menyebabkan masyarakat lebih memilih sistem keadilan informal, yang mana seringkali bersifat diskriminatif serta tidak sejalan dengan jaminan konstitusional terhadap HAM. Lembaga penegakan hukum masih menghadapi tantangan untuk menyelesaikan atau mencegah masalah yang serius yang berpengaruh terhadap berjalannya pemerintahan lokal serta pengembangan perekonomian.
Pada kenyataannya, inisiatif untuk mereformasi lembaga penegakan hukum lebih banyak berfokus pada lembaga negara formal. Akan tetapi, keadilan bukanlah semata-mata berada dalam ranah negara. Pemimpin desa dan adat yang merupakan aktor penyelesaian sengketa alternatif utama di Indonesia, memainkan peranan aktif terhadap lebih dari 75% sengketa. Namun, institusi tersebut telah dipasung selama 30 tahun di bawah pemerintahan yang sangat sentralistik. Kebutuhan untuk memperoleh keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan, khususnya minoritas etnis dan agama serta perempuan, seringkali tidak diperhatikan dalam sistem penyelesaian sengketa di tingkat desa. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dan perhatian lebih.
Kejahatan, konflik
tanah, dan sengketa keluarga merupakan tiga jenis sengketa yang paling lazim
dilaporkan oleh masyarakat. Ketiga isu yang terkait dengan lembaga penegakan
hukum tersebut berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat Indonesia
sehari-hari. Karena itu, amatlah penting untuk mengatasinya secara serempak
baik dalam waktu yang lebih panjang melalui reformasi lembaga penegakan hukum
dengan skala yang lebih luas maupun melalui pelaksanaan segera program-program
yang memungkinkan komunitas rentan untuk dapat menegakkan hak-hak dan
mempertahankan mata pencaharian mereka. Penyediaan layanan hukum bagi
masyarakat miskin, rentan, dan marjinal, berguna untuk membangun dukungan
publik terhadap permintaan reformasi hukum serta berperan terhadap proses perubahan
yang sistematis dari bawah.
Terkait dengan isu-isu
tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan Strategi Nasional
Akses terhadap Keadilan (Stranas). Strategi ini mencoba menguji betapa
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan negara hukum (rule of law) memiliki
keterkaitan dengan kemiskinan. Stranas meyoroti sebuah pendekatan yang
memperkuat masyarakat miskin untuk menyadari hak-hak dasar mereka, baik melalui
mekanisme formal maupun informal, sebagai sebuah cara untuk mengentaskan kemiskinan.
Stranas juga menekankan bahwa reformasi penegakan hukum membutuhkan tidak hanya
solusi teknis hukum semata, namun juga pendekatan sosio-politik. Saat ini,
beberapa rekomendasi pokok dari Stranas sedang disatukan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2010-2014).
Stranas memiliki rencana
aksi yang mencakup delapan area kunci:
- Sektor Reformasi Yudisial dan Hukum
- Pemberian Bantuan Hukum
- Tata Pemerintahan Lokal
- Tanah dan Sumber Daya Alam
- Isu Gender
- Hak-Hak Anak
- Reformasi Perburuhan, dan
- Pemberdayaan Masyarakat Miskin dan yang Termarjinalkan
Menurut saya,
penegakan hukum di Indonesia masih belum cukup tegas. Banyak orang yang
bersalah namun dengan gampangnya dia keluar atau terlepas dari segala
hukumannya dengan syarat dapat membayar denda yang telah ditentukan. Dalam hal
ini, bila orang yang dapat membayar lebih akan diutamakan maka rakyat kecil
akan terus tertindas hanya karna mereka tidak bisa membayar lebih seperti orang
kalangan atas. Oleh karena itu, saya selaku pemerhati mengharapkan penegakan
hukum di Indonesia lebih tegas lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar