Tenaga kerja Indonesia
asal Semarang, Sutinah terancam hukuman mati karena membunuh
majikannya di Arab Saudi. Sutinah bisa bebas, jika mampu membayar
denda Rp 2,5 miliar. Namun upaya penggalangan dana oleh keluarga
dilarang Satgas TKI, sebab akan menaikan denda yang diajukan keluarga majikan
Sutinah.
Keluarga Sutinah
di Desa Kalisidi, Semarang, kini hanya bisa berharap, setelah
kerabatnya, Sutinah terancam hukuman mati di Arab Saudi. Sutinah
divonis hukuman pancung oleh pengadlan Arab Saudi setelah didakwa membunuh
majikannya dan mencuri uang 37 Riyal. Namun semua dakwaan itu dibantah Sutinah,
sebab ia membela diri dari siksaan majikan.
Respon pun berdatangan
dari berbagai kalangan. Sebagian dari mereka menyatakan tidak terima atas
hukuman yang diterapkan kepada Sutinah, yaitu hukuman pancung. Lalu
dikatakanlah bahwa hukuman syariat Islam yang diterapkan Arab Saudi adalah
hukuman kejam dan tidak manusiawi. Ya, dalam konteks kasus ini, bukan hanya
Sutinah yang menjadi “korban” melainkan juga syariat Islam yang menjadi korban.
Syariat Islam menjadi dikambinghitamkan.
Kasus
yang menimpa Sutinah harus menjadi pelajaran penting bagi siapa pun yang
mengaku berjuang untuk menegakkan syariat Islam. Apa pelajaran penting yang
didapat? Yaitu bahwa adanya stigma negatif terhadap penerapan syariat Islam di
Arab Saudi adalah dikarenakan penerapan syariat Islam yang tidak menyeluruh.
Sebab, penerapan syariat Islam hanya diterapkan dalam konteks hukum pidana
Islam, sementara dalam konteks yang lain (seperti pendidikan, keamanan, politik
pemerintahan, sosial, ekonomi, politik luar negeri, dan sebagainya) syariat
Islam tidak diterapkan. Sehingga, ketika terjadi kasus seperti ini maka
beramai-ramailah orang mengecam penerapan syariat Islam.
Justru karena penerapan
syariat Islam yang setengah-setengah atau bertahap itulah kasus seperti Sutinah
ini terjadi. Seandainya Islam diterapkan secara total dalam seluruh aspek
kehidupan, maka berbagai bentuk potensi untuk terjadinya kejahatan (majikan)
pasti akan ditekan, diminimalisir, dan dimusnahkan. Seseorang tidak perlu lagi
melakukan aksi seperti yang dilakukan Sutinah (membunuh majikannya) jika
potensi untuk menzalimi pembantu itu tidak ada. Maka aksi membunuh majikan, itu
pun juga pasti tidak akan ada. Bagaimana caranya agar majikan tidak menyiksa
pembantunya? Dalam Islam telah diatur sebuah aturan agar seorang muslim tidak
melakukan kezaliman atas muslim/muslimah yang lain. Jika dilanggar, tentu
majikan tersebut yang justru akan dihukum. Dengan demikian, tidak akan terjadi
kasus pembunuhan pembantu terhadap majikannya. Ini semua menunjukkan bahwa
syariat Islam dalam pengaturan hubungan sosial, tidak diterapkan di Arab Saudi.
Akhirnya, syariat Islam pun dikambinghitamkan. Ya, ini adalah akibat dari
penerapan syariat Islam yang tidak menyeluruh. Kasus Sutinah ini adalah satu
contoh dari kebobrokan ide penerapan syariat Islam secara setengah-setengah
alias bertahap.
Berita hukuman pancung
yang tinggal menunggu waktu pelaksanannya, terang membuat gundah anak Sutinah,
Nur Apriani. Menurut Nur, kontak terakhir dengan Sutinah terjadi
lebaran lalu. Sutinah ke Arab Saudi kedua kalinya tahun 2007 untuk bekerja
sebagai pembantu rumah tangga. Keluarga majikan Sutinah mau memberikan
pengampunan, tetapi meminta ganti rugi Rp 2,5 miliar. Namun tak bisa dibayar
keluarga Sutinah, karena alasan ekonomi. Keluarga telah mengadukan kasus
ini ke Satgas TKI dan berniat menggalang dana. Sayangnya, upaya
menggalang dana dilarang Satgas TKI. Penggalangan dana dikhawatirkan
dijadikan alat tawar majikan Sutinah menaikan denda.
Satgas berupaya melakukan pendekatan ke pemerintah Arab Saudi dan keluarga
majikan Sutinah.
Contoh lain:
Katakanlah indonesia ini
menerapkan syariat Islam dalam bidang pidana Islam. Misalnya, setiap pencuri
dipotong tangannya. Setiap pezina yang sudah menikah dirajam. Setiap pemabuk
dicambuk. Tetapi hal itu hanya akan sia-sia, ketika potensi-potensi untuk
mencuri, melacur/berzina, dan mabuk-mabukan tetap terbuka lebar. Hasilnya,
penerapan syariat Islam pun menjadi tidak adil.
Dengan demikian, syariat Islam memang tidak seharusnya diterapkan secara setengah-setengah atau bertahap. Islam akan difitnah. Yaitu syariat Islam akan dituduh tidak mampu menyelesaikan masalah dan justru menambah masalah. Na’udzubillah. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam harus secara langsung secara menyeluruh atas seluruh kebijakan. Tidak boleh bertahap atau setengah-setengah.
Dengan demikian, syariat Islam memang tidak seharusnya diterapkan secara setengah-setengah atau bertahap. Islam akan difitnah. Yaitu syariat Islam akan dituduh tidak mampu menyelesaikan masalah dan justru menambah masalah. Na’udzubillah. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam harus secara langsung secara menyeluruh atas seluruh kebijakan. Tidak boleh bertahap atau setengah-setengah.
Dari artikel diatas
menurut saya, sikap pemerintah Indonesia sangat terlambat. Seharusnya pemerintah
dapat mengantisipasi dari awal bahkan dari lembaga TKI tersebut. Di lembaga
tersebut seharusnya para TKI diajarkan untuk dapat menjaga diri dari gangguan
majikannya dan seharusnya di lembaga tersebut juga ditekankan agar setiap TKI
tidak menumbuhkan niatan untuk mencuri juga. Dan menurut saya, dengan
pemerintah membayarkan denda yang harus dibayar untuk menebus Sutinah sangat
harus dipertimbangkan lagi. Seperti contoh kasus terakhir TKI yang lolos dari
hukuman mati dengan membayar denda adalah Darsem. Darsem yang ditebus dengan
biaya Rp 4, 7 miliar, dianggap lupa diri. Setelah bebas, Darsem
menjadi miliarder, karena mendapat bantuan hampir Rp 2 miliar dari
donator. Darsem dituding hidup bermewah-mewah, padahal banyak tki yang
menderita dan terancam dipancung. Sedangkan, bila uang tersebut pemerintah
berikan kepada para pengemis atau orang yang dibawah garis kemiskinan, itu
berguna untuk menghidupkan dan mensejahterakan ratusan orang dibandingkan untuk
menebus denda satu orang yang sudah bersalah. Walaupun Sutinah mengaku bila dia
berniat membela diri dari kejahatan majikannya, namun dia tetap mencuri harta
majikannya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar