Pages

Jumat, 25 April 2014

Kasus Sutinah


Tenaga kerja Indonesia asal Semarang, Sutinah terancam hukuman mati  karena membunuh majikannya di Arab Saudi.  Sutinah bisa bebas, jika mampu membayar denda Rp 2,5  miliar. Namun upaya penggalangan dana oleh keluarga dilarang Satgas TKI, sebab akan menaikan denda yang diajukan keluarga majikan Sutinah.
 Keluarga Sutinah di Desa Kalisidi,  Semarang, kini hanya bisa berharap, setelah kerabatnya, Sutinah terancam hukuman mati di Arab Saudi.  Sutinah divonis hukuman pancung oleh pengadlan Arab Saudi setelah didakwa membunuh majikannya dan mencuri uang 37 Riyal. Namun semua dakwaan itu dibantah Sutinah, sebab ia membela diri dari siksaan majikan.
Respon pun berdatangan dari berbagai kalangan. Sebagian dari mereka menyatakan tidak terima atas hukuman yang diterapkan kepada Sutinah, yaitu hukuman pancung. Lalu dikatakanlah bahwa hukuman syariat Islam yang diterapkan Arab Saudi adalah hukuman kejam dan tidak manusiawi. Ya, dalam konteks kasus ini, bukan hanya Sutinah yang menjadi “korban” melainkan juga syariat Islam yang menjadi korban. Syariat Islam menjadi dikambinghitamkan.
Kasus yang menimpa Sutinah harus menjadi pelajaran penting bagi siapa pun yang mengaku berjuang untuk menegakkan syariat Islam. Apa pelajaran penting yang didapat? Yaitu bahwa adanya stigma negatif terhadap penerapan syariat Islam di Arab Saudi adalah dikarenakan penerapan syariat Islam yang tidak menyeluruh. Sebab, penerapan syariat Islam hanya diterapkan dalam konteks hukum pidana Islam, sementara dalam konteks yang lain (seperti pendidikan, keamanan, politik pemerintahan, sosial, ekonomi, politik luar negeri, dan sebagainya) syariat Islam tidak diterapkan. Sehingga, ketika terjadi kasus seperti ini maka beramai-ramailah orang mengecam penerapan syariat Islam.
Justru karena penerapan syariat Islam yang setengah-setengah atau bertahap itulah kasus seperti Sutinah ini terjadi. Seandainya Islam diterapkan secara total dalam seluruh aspek kehidupan, maka berbagai bentuk potensi untuk terjadinya kejahatan (majikan) pasti akan ditekan, diminimalisir, dan dimusnahkan. Seseorang tidak perlu lagi melakukan aksi seperti yang dilakukan Sutinah (membunuh majikannya) jika potensi untuk menzalimi pembantu itu tidak ada. Maka aksi membunuh majikan, itu pun juga pasti tidak akan ada. Bagaimana caranya agar majikan tidak menyiksa pembantunya? Dalam Islam telah diatur sebuah aturan agar seorang muslim tidak melakukan kezaliman atas muslim/muslimah yang lain. Jika dilanggar, tentu majikan tersebut yang justru akan dihukum. Dengan demikian, tidak akan terjadi kasus pembunuhan pembantu terhadap majikannya. Ini semua menunjukkan bahwa syariat Islam dalam pengaturan hubungan sosial, tidak diterapkan di Arab Saudi. Akhirnya, syariat Islam pun dikambinghitamkan. Ya, ini adalah akibat dari penerapan syariat Islam yang tidak menyeluruh. Kasus Sutinah ini adalah satu contoh dari kebobrokan ide penerapan syariat Islam secara setengah-setengah alias bertahap.
Berita hukuman pancung yang tinggal menunggu waktu pelaksanannya, terang membuat gundah anak Sutinah, Nur Apriani.  Menurut Nur, kontak terakhir dengan Sutinah terjadi lebaran lalu. Sutinah ke Arab Saudi kedua kalinya tahun 2007 untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Keluarga majikan Sutinah mau memberikan pengampunan, tetapi meminta ganti rugi Rp 2,5 miliar. Namun tak bisa dibayar keluarga Sutinah, karena alasan ekonomi. Keluarga telah mengadukan kasus ini  ke Satgas TKI dan berniat menggalang dana. Sayangnya, upaya menggalang dana dilarang Satgas TKI.  Penggalangan dana dikhawatirkan dijadikan  alat tawar majikan Sutinah  menaikan denda. Satgas berupaya melakukan pendekatan ke pemerintah Arab Saudi dan keluarga majikan Sutinah.
Contoh lain:
Katakanlah indonesia ini menerapkan syariat Islam dalam bidang pidana Islam. Misalnya, setiap pencuri dipotong tangannya. Setiap pezina yang sudah menikah dirajam. Setiap pemabuk dicambuk. Tetapi hal itu hanya akan sia-sia, ketika potensi-potensi untuk mencuri, melacur/berzina, dan mabuk-mabukan tetap terbuka lebar. Hasilnya, penerapan syariat Islam pun menjadi tidak adil.
Dengan demikian, syariat Islam memang tidak seharusnya diterapkan secara setengah-setengah atau bertahap. Islam akan difitnah. Yaitu syariat Islam akan dituduh tidak mampu menyelesaikan masalah dan justru menambah masalah. Na’udzubillah. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam harus secara langsung secara menyeluruh atas seluruh kebijakan. Tidak boleh bertahap atau setengah-setengah.
Dari artikel diatas menurut saya, sikap pemerintah Indonesia sangat terlambat. Seharusnya pemerintah dapat mengantisipasi dari awal bahkan dari lembaga TKI tersebut. Di lembaga tersebut seharusnya para TKI diajarkan untuk dapat menjaga diri dari gangguan majikannya dan seharusnya di lembaga tersebut juga ditekankan agar setiap TKI tidak menumbuhkan niatan untuk mencuri juga. Dan menurut saya, dengan pemerintah membayarkan denda yang harus dibayar untuk menebus Sutinah sangat harus dipertimbangkan lagi. Seperti contoh kasus terakhir TKI yang lolos dari hukuman mati dengan membayar denda adalah Darsem. Darsem yang ditebus dengan biaya Rp 4, 7 miliar,  dianggap lupa diri. Setelah bebas, Darsem menjadi miliarder, karena mendapat bantuan hampir  Rp 2 miliar dari donator. Darsem dituding hidup bermewah-mewah, padahal banyak tki yang menderita dan terancam dipancung. Sedangkan, bila uang tersebut pemerintah berikan kepada para pengemis atau orang yang dibawah garis kemiskinan, itu berguna untuk menghidupkan dan mensejahterakan ratusan orang dibandingkan untuk menebus denda satu orang yang sudah bersalah. Walaupun Sutinah mengaku bila dia berniat membela diri dari kejahatan majikannya, namun dia tetap mencuri harta majikannya tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar