Pages

Jumat, 25 April 2014

Keadilan Hukum di Indonesia


Sejak berakhirnya era Orde Baru, Indonesia telah menjalankan berbagai upaya reformasi hukum dan kelembagaan yang bertujuan untuk menciptakan lembaga penegakan hukum yang mampu menghasilkan pemerintahan yang bersih. Adanya penyelenggaraan kemandirian yudisial melalui yang disebut dengan ”peradilan satu atap”, pengenalan hak menguji undang-undang melalui Mahkamah Konstitusi, dan terbentuknya berbagai peradilan khusus dan komisi pengawas terhadap lembaga yudisial, kejaksaan, dan kepolisian, merupakan perubahan dalam skala yang besar.

Kendati adanya skala reformasi dan investasi yang berarti dari donor, usaha yang berkesinambungan tetaplah diperlukan untuk menjamin bahwa perubahan kelembagaan tersebut dapat membawa keadilan lebih dekat kepada masyarakat. Tingginya apatisme masyarakat terhadap sistem hukum formal menyebabkan masyarakat lebih memilih sistem keadilan informal, yang mana seringkali bersifat diskriminatif serta tidak sejalan dengan jaminan konstitusional terhadap HAM. Lembaga penegakan hukum masih menghadapi tantangan untuk menyelesaikan atau mencegah masalah yang serius yang berpengaruh terhadap berjalannya pemerintahan lokal serta pengembangan perekonomian.

Pada kenyataannya, inisiatif untuk mereformasi lembaga penegakan hukum lebih banyak berfokus pada lembaga negara formal. Akan tetapi, keadilan bukanlah semata-mata berada dalam ranah negara. Pemimpin desa dan adat yang merupakan aktor penyelesaian sengketa alternatif utama di Indonesia, memainkan peranan aktif terhadap lebih dari 75% sengketa. Namun, institusi tersebut telah dipasung selama 30 tahun di bawah pemerintahan yang sangat sentralistik. Kebutuhan untuk memperoleh keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan, khususnya minoritas etnis dan agama serta perempuan, seringkali tidak diperhatikan dalam sistem penyelesaian sengketa di tingkat desa. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dan perhatian lebih.
Kejahatan, konflik tanah, dan sengketa keluarga merupakan tiga jenis sengketa yang paling lazim dilaporkan oleh masyarakat. Ketiga isu yang terkait dengan lembaga penegakan hukum tersebut berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat Indonesia sehari-hari. Karena itu, amatlah penting untuk mengatasinya secara serempak baik dalam waktu yang lebih panjang melalui reformasi lembaga penegakan hukum dengan skala yang lebih luas maupun melalui pelaksanaan segera program-program yang memungkinkan komunitas rentan untuk dapat menegakkan hak-hak dan mempertahankan mata pencaharian mereka. Penyediaan layanan hukum bagi masyarakat miskin, rentan, dan marjinal, berguna untuk membangun dukungan publik terhadap permintaan reformasi hukum serta berperan terhadap proses perubahan yang sistematis dari bawah.
Terkait dengan isu-isu tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (Stranas). Strategi ini mencoba menguji betapa persoalan-persoalan yang berhubungan dengan negara hukum (rule of law) memiliki keterkaitan dengan kemiskinan. Stranas meyoroti sebuah pendekatan yang memperkuat masyarakat miskin untuk menyadari hak-hak dasar mereka, baik melalui mekanisme formal maupun informal, sebagai sebuah cara untuk mengentaskan kemiskinan. Stranas juga menekankan bahwa reformasi penegakan hukum membutuhkan tidak hanya solusi teknis hukum semata, namun juga pendekatan sosio-politik. Saat ini, beberapa rekomendasi pokok dari Stranas sedang disatukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2010-2014).
Stranas memiliki rencana aksi yang mencakup delapan area kunci:
  1. Sektor Reformasi Yudisial dan Hukum
  2. Pemberian Bantuan Hukum
  3. Tata Pemerintahan Lokal
  4. Tanah dan Sumber Daya Alam
  5. Isu Gender
  6. Hak-Hak Anak
  7. Reformasi Perburuhan, dan
  8. Pemberdayaan Masyarakat Miskin dan yang Termarjinalkan
          Menurut saya, penegakan hukum di Indonesia masih belum cukup tegas. Banyak orang yang bersalah namun dengan gampangnya dia keluar atau terlepas dari segala hukumannya dengan syarat dapat membayar denda yang telah ditentukan. Dalam hal ini, bila orang yang dapat membayar lebih akan diutamakan maka rakyat kecil akan terus tertindas hanya karna mereka tidak bisa membayar lebih seperti orang kalangan atas. Oleh karena itu, saya selaku pemerhati mengharapkan penegakan hukum di Indonesia lebih tegas lagi.

Kasus Sutinah


Tenaga kerja Indonesia asal Semarang, Sutinah terancam hukuman mati  karena membunuh majikannya di Arab Saudi.  Sutinah bisa bebas, jika mampu membayar denda Rp 2,5  miliar. Namun upaya penggalangan dana oleh keluarga dilarang Satgas TKI, sebab akan menaikan denda yang diajukan keluarga majikan Sutinah.
 Keluarga Sutinah di Desa Kalisidi,  Semarang, kini hanya bisa berharap, setelah kerabatnya, Sutinah terancam hukuman mati di Arab Saudi.  Sutinah divonis hukuman pancung oleh pengadlan Arab Saudi setelah didakwa membunuh majikannya dan mencuri uang 37 Riyal. Namun semua dakwaan itu dibantah Sutinah, sebab ia membela diri dari siksaan majikan.
Respon pun berdatangan dari berbagai kalangan. Sebagian dari mereka menyatakan tidak terima atas hukuman yang diterapkan kepada Sutinah, yaitu hukuman pancung. Lalu dikatakanlah bahwa hukuman syariat Islam yang diterapkan Arab Saudi adalah hukuman kejam dan tidak manusiawi. Ya, dalam konteks kasus ini, bukan hanya Sutinah yang menjadi “korban” melainkan juga syariat Islam yang menjadi korban. Syariat Islam menjadi dikambinghitamkan.
Kasus yang menimpa Sutinah harus menjadi pelajaran penting bagi siapa pun yang mengaku berjuang untuk menegakkan syariat Islam. Apa pelajaran penting yang didapat? Yaitu bahwa adanya stigma negatif terhadap penerapan syariat Islam di Arab Saudi adalah dikarenakan penerapan syariat Islam yang tidak menyeluruh. Sebab, penerapan syariat Islam hanya diterapkan dalam konteks hukum pidana Islam, sementara dalam konteks yang lain (seperti pendidikan, keamanan, politik pemerintahan, sosial, ekonomi, politik luar negeri, dan sebagainya) syariat Islam tidak diterapkan. Sehingga, ketika terjadi kasus seperti ini maka beramai-ramailah orang mengecam penerapan syariat Islam.
Justru karena penerapan syariat Islam yang setengah-setengah atau bertahap itulah kasus seperti Sutinah ini terjadi. Seandainya Islam diterapkan secara total dalam seluruh aspek kehidupan, maka berbagai bentuk potensi untuk terjadinya kejahatan (majikan) pasti akan ditekan, diminimalisir, dan dimusnahkan. Seseorang tidak perlu lagi melakukan aksi seperti yang dilakukan Sutinah (membunuh majikannya) jika potensi untuk menzalimi pembantu itu tidak ada. Maka aksi membunuh majikan, itu pun juga pasti tidak akan ada. Bagaimana caranya agar majikan tidak menyiksa pembantunya? Dalam Islam telah diatur sebuah aturan agar seorang muslim tidak melakukan kezaliman atas muslim/muslimah yang lain. Jika dilanggar, tentu majikan tersebut yang justru akan dihukum. Dengan demikian, tidak akan terjadi kasus pembunuhan pembantu terhadap majikannya. Ini semua menunjukkan bahwa syariat Islam dalam pengaturan hubungan sosial, tidak diterapkan di Arab Saudi. Akhirnya, syariat Islam pun dikambinghitamkan. Ya, ini adalah akibat dari penerapan syariat Islam yang tidak menyeluruh. Kasus Sutinah ini adalah satu contoh dari kebobrokan ide penerapan syariat Islam secara setengah-setengah alias bertahap.
Berita hukuman pancung yang tinggal menunggu waktu pelaksanannya, terang membuat gundah anak Sutinah, Nur Apriani.  Menurut Nur, kontak terakhir dengan Sutinah terjadi lebaran lalu. Sutinah ke Arab Saudi kedua kalinya tahun 2007 untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Keluarga majikan Sutinah mau memberikan pengampunan, tetapi meminta ganti rugi Rp 2,5 miliar. Namun tak bisa dibayar keluarga Sutinah, karena alasan ekonomi. Keluarga telah mengadukan kasus ini  ke Satgas TKI dan berniat menggalang dana. Sayangnya, upaya menggalang dana dilarang Satgas TKI.  Penggalangan dana dikhawatirkan dijadikan  alat tawar majikan Sutinah  menaikan denda. Satgas berupaya melakukan pendekatan ke pemerintah Arab Saudi dan keluarga majikan Sutinah.
Contoh lain:
Katakanlah indonesia ini menerapkan syariat Islam dalam bidang pidana Islam. Misalnya, setiap pencuri dipotong tangannya. Setiap pezina yang sudah menikah dirajam. Setiap pemabuk dicambuk. Tetapi hal itu hanya akan sia-sia, ketika potensi-potensi untuk mencuri, melacur/berzina, dan mabuk-mabukan tetap terbuka lebar. Hasilnya, penerapan syariat Islam pun menjadi tidak adil.
Dengan demikian, syariat Islam memang tidak seharusnya diterapkan secara setengah-setengah atau bertahap. Islam akan difitnah. Yaitu syariat Islam akan dituduh tidak mampu menyelesaikan masalah dan justru menambah masalah. Na’udzubillah. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam harus secara langsung secara menyeluruh atas seluruh kebijakan. Tidak boleh bertahap atau setengah-setengah.
Dari artikel diatas menurut saya, sikap pemerintah Indonesia sangat terlambat. Seharusnya pemerintah dapat mengantisipasi dari awal bahkan dari lembaga TKI tersebut. Di lembaga tersebut seharusnya para TKI diajarkan untuk dapat menjaga diri dari gangguan majikannya dan seharusnya di lembaga tersebut juga ditekankan agar setiap TKI tidak menumbuhkan niatan untuk mencuri juga. Dan menurut saya, dengan pemerintah membayarkan denda yang harus dibayar untuk menebus Sutinah sangat harus dipertimbangkan lagi. Seperti contoh kasus terakhir TKI yang lolos dari hukuman mati dengan membayar denda adalah Darsem. Darsem yang ditebus dengan biaya Rp 4, 7 miliar,  dianggap lupa diri. Setelah bebas, Darsem menjadi miliarder, karena mendapat bantuan hampir  Rp 2 miliar dari donator. Darsem dituding hidup bermewah-mewah, padahal banyak tki yang menderita dan terancam dipancung. Sedangkan, bila uang tersebut pemerintah berikan kepada para pengemis atau orang yang dibawah garis kemiskinan, itu berguna untuk menghidupkan dan mensejahterakan ratusan orang dibandingkan untuk menebus denda satu orang yang sudah bersalah. Walaupun Sutinah mengaku bila dia berniat membela diri dari kejahatan majikannya, namun dia tetap mencuri harta majikannya tersebut.



Kamis, 27 Maret 2014

Pengaruh Budaya Korea Terhadap Budaya Indonesia



Berkembangnya budaya pop Korea (Hallyu) di negara-negara Asia Timur dan beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia menunjukkan adanya transformasi budaya asing ke negara lain. Berkembangnya budaya pop Korea di Indonesia dibuktikan dengan munculnya “Asian Fans Club” (AFC) yaitu blog Indonesia yang berisi tentang berita dunia hiburan Korea.

Dalam konsepsi budaya, budaya populer yang dibawa Korea berada dalam dimensi konkret yang terwujud dalam artifak-artifak budaya seperti lagu, drama, film, musik, program televisi, makanan, dan bahasa. Sedangkan dimensi abstrak yang berupa nilai, norma, kepercayaan, tradisi, makna, terkandung secara tidak langsung dalam artifak budaya tersebut. Berkaitan dengan Asian Fans Club, budaya pop Korea yang diterima kelompok penggemar di Indonesia masih terbatas pada dimensi konkret, yaitu penerimaan terhadap musik, film, drama, dan artis-artis Korea.

Manusia dan Penderitaan



          Soimah Pancawati atau yang lebih dikenal dengan nama Soimah merupakan artis multitalenta Indonesia. Ia adalah anak dari pasangan penjual ikan Hadinarko dan Kasmiyati yang lahir pada 29 September 1980 di Pati, Jawa Tengah. Soimah adalah lima dari tujuh bersaudara. Keenam saudaranya antara lain Solihati, Solihin, Sofiah, Sofiatun, Nur Laila dan Sinta Fitriani. Soimah merupakan istri dari Herwan Prandoko. Pernikahan yang terlaksana pada 2002 telah dikaruniai dua orang putra yaitu Aksa Uyun Dananjaya dan Diksa Naja Naekonang. 

          Soimah melanjutkan pendidikan di kota budaya, Jogja. Kiprah seninya tak terbendung. Bahkan, ia pun melanglang ke panggung nasional. Meski namanya kian melejit, Soimah tak lantasberubah.